Monday, December 14, 2009

Lingkungan : Pecahnya Suara Negara-Negara Berkembang pada Perundingan Iklim PBB di Kopenhagen

Salah satu tema yang menjadi kategori dalam kompetisi The BOBs Deutsche Welle ialah Perubahan Iklim. Itulah sebabnya, saya tertarik mengangkat tema itu dalam tulisan ini.

Menurut laporan BBC, pada hari ketiga perundingan iklim PBB di Kopenhagen, menyebutkan bahwa suara negara-negara berkembang terpecah. Negara-negara pulau kecil dan negara miskin Afrika yang rentan terhadap dampak perubahan iklim menghendaki kesepakatan yang mengikat lebih keras secara hukum daripada Protokol Kyoto. Namun posisi itu ditentang oleh negara-negara berkembang kaya seperti Cina, yang khawatir bahwa langkah yang lebih tegas akan menghambat pertumbuhan ekonomi mereka.
Sedangkan negara kecil di Pasifik, Tuvalu, menuntut perundingan ditangguhkan hingga masalah tersebut dipecahkan, dan tuntutan itu dipenuhi.

Perpecahan di blok negara berkembang ini luar biasa tajam, mengingat mereka biasanya cenderung berbicara dengan satu suara.

Jururunding Tuvalu Ian Fry menegaskan

tuntutan negaranya agar usulnya mengenai protokol hukum baru dibahas penuh tidak bisa ditawar-tawar. Tuvalu mengajukan usul tersebut ke konvensi iklim PBB enam bulan lalu. Seruan ini didukung oleh beberapa anggota lain Perhimpunan Negara Pulau Kecil (AOSI), termasuk Kepulauan Cook, Barbados dan Fiji, dan beberapa negara miskin Afrika, termasuk Sierra Leone, Senegal, dan Cape Verde.

Sebagian negara mengulangi tuntutan negara-negara pulau kecil bahwa kenaikan suhu bumi dibatasi hingga 1,5'C, dan konsentrasi gas rumah kaca stabil pada kadar 350 ppm bukannya 450 ppm seperti yang dikehendaki oleh negara maju dan beberapa negara berkembang utama.

Negara-negara yang ekonominya tumbuh pesat seperti Cina, India dan Afrika Selatan menentang target 350 ppm, sebab mereka melihat memenuhi target tersebut akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Dalam konferensi di Kopenhagen, mereka juga menentang seruan Tuvalu mengenai protokol baru yang mengikat di samping Protokol Kyoto yang sudah ada. Mereka berpendapat konvensi yang ada dan Protokol Kyoto sudah cukup tegas.

Namun, kesepakatan yang ada tidak cukup tegas bagi negara-negara lebih kecil dan lebih rentan. Mereka terancam akan mengalami kerugian lebih besar akibat kenaikan permukaan air laut dan juga kesulitan ekonomis dari perjanjian yang keras.

Seperti saya pernah tulis di dalam artikel saya yang lain, bahwa pemanasan global itu sudah menjadi hukum alam. Tanpa industri besar pun pemanasan global akan tetap terjadi. Tapi, aktifitas manusia lah yang mempercepat dan memperparah kondisi itu. Produksi emisi gas rumah kaca akan terus meningkat dengan pesat jika semua negara khususnya negara maju tidak mengurangi produksi emisi gas rumah kaca mereka.
Masalahnya, lebih banyak orang-orang yang memikirkan diri sendiri ketimbang memikirkan orang lain dan lingkungannya. Menurut beberapa negara maju, mengurangi produksi emisi gas rumah kaca itu berarti mengurangi produksi / hasil industri mereka, sementara biaya operasional semakin naik, disamping itu, berkurangnya produksi berarti berkurangnya pendapatan negara.

Lihat saja kan? Negara berkembang saja sudah mulai memikirkan diri sendiri-sendiri. Bagaimana menurut anda?

0 comments: