Sunday, June 14, 2009

2 Tahun Rahima: Antara Permen dan Racun Tikus

Artikel ini semestinya terbit April lalu, tapi saya baru bisa bernafas lega, duduk santai di depan TV untuk menulisnya melalui hp saya.

Anak saya, tanggal 11 April lalu telah berusia 2 tahun. Telah banyak perkembangan yang terjadi setahun ini. Perbendaharaan kata sudah banyak. "Ayah, makan!" itu kata-kata yang barusan terdengar sebelum menulis artikel ini. Sudah bisa disuruh ambil ini dan itu, Sayangnya,

perilakunya mengarah kepada hal yang tidak baik. Mencubit, mencakar, atau memukul orang, tak hanya teman sebayanya, orang tua pun tak pandang bulu. Hal yang selalu mengganggu, yaitu menghalang-halangi orang masuk di mini market, menghalangi orang membuka kulkas, membongkar jualan yang sudah disusun rapi atau menghancurkannya, atau membocori minuman atau makanan dengan pulpen. Satu hal lagi, makanan, minuman, semua mau dicoba, paling suka dengan permen. Karena selalu dilarang, suatu hari, seminggu sebelum ultahnya, dia makan racun tikus yang dikira permen. Untung saya temukan sisanya di lantai. Sebenarnya itu kesalahan orang rumah, karena menggantung racun tikus di tangga. Waktu ibunya menjemur di lantai 2, dia menangis-nangis mau naik ke lantai dua, karena tangga dihalangi dengan whiteboard, mungkin karena capek menangis mau ikut naik, akhirnya dia membongkar kantong plastik yang tergantung di tangga dan menemukan permen untuk membunuh tikus. Tuhan masih menginginkan kami tetap bersama. Sudah dua kali saya berutang nyawa. Pertama, waktu Rahima terjatuh dari pundakku dan pas kepalanya membentur lantai, dan ketika racun tikus ini dimakannya, saya yang menemukan sisanya.

Oya, Fira Kalau ditanya, kenapa Fira tidak ikut ke sekolah, jawabnya "cubit-cubit kakak", maksudnya, tidak dikasih ikut karena suka mencubit kakak-kakak yang duduk di TK.

Saya biasa menghukumnya, menutup pintu belakang masuk mini market agar dia tidak bisa masuk, dia menangis sejadi-jadinya. Kadang dia meminta, "ayah, Fira mau jaga toko". Saya tanya "mau apa di toko?" jawabnya "mau cubit-cubit orang" sambil tertawa.
Minta ampun benar bandelnya. Ternyata, mendidik anak tidaklah mudah. Terlalu disiplin apalagi menggunakan kekerasan akan berdampak buruk, ditegur dan diajari dengan baik juga tidak diperhatikan, apalagi kalau dibiarkan saja, justru akan merusak. Teori, memang mudah, tapi prakteknya benar-benar susah. Butuh kesabaran, dan itu tidak bisa bagi saya.

4 comments:

Anak adalah anugrah.
Saya juga menghadapi challenge seperti itu. Hingga anak saya sekarang sudah tumbuh menjadi gadis manis.
Saya mengajarkan persahabatan kepada putra-putri saya.
Pengalaman yang tak terlupakan ketika saya melihat Sici;anak saya yang pertama,saat itu masih duduk dikelas II SD. Lari tergopoh-gopoh menjelang Maghrib pulang ke rumah, meninggalkan acara ulang tahun temannya kartena satu pesan yang saya sampaika: "Uci(demikian panggilan kecilnya)...pulang sebelum Maghrib ya..." Subhanallah

Ma_yons: Terima kasih atas komentarnya. Kusadari, aku ini bukan orang yang sabar. Aku masih biasa berlaku kasar pada anakku apabila dia tidak mau mendengarku. Padahal Tuhan telah dua kali menyelamatkan nyawanya untukku. Anak semata wayangku......

Anak tuh bagaikan cermin... kita berkata keras ke anak, anak akan balik berkata keras ke kita, kita tidak sabar ke anak, anak pun tak kan tau caranya bersabar.. kita mudah marah ke anak, anakpun diajarin untuk mudah marah...

- ajarin dengan lembut yang artinya anak akan belajar untuk bersikap lembut-

Thanks nasehatnya Pak Pandu, tapi kenapa ya, waktu kecil saya diajari dengan keras, tapi saya tetap lembut. He3x....Beda banget dengan anakku Rahima.