Thursday, May 12, 2011

Osamah Bin Laden, Abdi Kepentingan AS


Awal Mei 2011 lalu, Presiden AS Barack Obama muncul di layar televisi untuk mengumumkan satu berita yang langsung menjadi berita terpanas di dunia. Isi berita itu adalah pemimpin jaringan teroris al-Qaeda dan tertuduh utama di balik serangan 11 September Osama bin Laden tewas di tempat persembunyiannya di Pakistan dalam sebuah operasi militer pasukan komando AS. Obama mengatakan, “Akhirnya keadilan berhasil ditegakkan terhadap Bin Laden yang telah menyebabkan tewasnya banyak orang yang tak berdosa.”

Presiden AS menambahkan, peristiwa 11 September 2001 yang terjadi sepuluh tahun lalu sangat menyakitkan bagi rakyat Amerika. Dikatakannya, “Dalam membela negara kita semua bersatu. Berdasarkan informasi yang ada, kami berkesimpulan bahwa serangan 11 September dilakukan oleh Al-Qaeda dan Bin Laden.”

Pria yang namanya melejit pasca serangan 11 September 2001 selama satu dekade hidup dengan cara berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Meski tempat tinggalnya tak diketahui, tapi media massa dunia sering menayangkan gambar atau rekaman suara yang langsung menjadi topik hangat di media-media massa dunia. Menurut pengakuan resmi pemerintah AS, pria yang menjadi buron serta pemicu perang dan pendudukan Afghanistan itu sudah tewas. Dalam sepuluh tahun ini, Bin Laden dikesankan sebagai buronan kelas kakap yang tinggal di pegunungan bahkan gua-gua di wilayah perbatasan Afghanistan dan Pakistan. Menariknya, saat terjadi operasi pasukan komando AS, Bin Laden diserang dan dibunuh bukan di gua atau pegunungan tetapi di 61 kilometer ibukota Pakistan, Islamabad dan di sebuah tempat persembunyian yang mewah.

Pengumuman berita tewasnya Osama Bin Laden yang disampaikan oleh Presiden AS, lembaga-lembaga penerangan dan media massa AS sarat dengan misteri dan tanda tanya, mulai dari proses serangan, tewasnya Bin Laden, gambar jenazah sampai pembuangan mayatnya ke laut. Tak heran jika hanya selang beberapa jam setelah diumumkannya kematian Bin Laden banyak pengamat yang meragukan kebenaran cerita versi Gedung Putih. Sebagian bahkan tak menolak kemungkinan Bin Laden masih hidup.

Memang terkait masalah ini, yang paling penting bagi AS adalah munculnya berita besar yang menyita perhatian dunia dengan segala dimensinya yang meragukan. Kita masih belum lupa akan peristiwa 11 September yang diselimuti oleh ratusan pertanyaan meragukan yang hingga kini masih belum mendapatkan jawaban. Padahal peristiwa itu dimanfaatkan oleh Gedung Putih untuk menyulut perang di Afghanistan dan mendudukinya.

Osama bin Laden adalah ke 17 dari 52 anak Muhammad bin Laden, salah seorang konglomerat Arab Saudi. Ketika pasukan Beruang Merah Soviet menyerang Afghanistan, Osama pergi ke negara itu untuk berperang melawan tentara komunis. Di Afghanistan, dia dinilai sebagai orang yang paling cocok bekerja untuk dinas intelijen AS dan Inggris. Selama di sana, Bin Laden mendapat dukungan dari dinas intelijen AS, Inggris dan sejumlah negara kawasan lainnya. Dia sempat kembali ke negaranya setelah tentara Beruang Merah meninggalkan Afghanistan.

Di negaranya, pemerintah Arab Saudi menganggap Bin Laden sebagai ancaman. Kondisinya itulah yang memaksanya pergi ke Sudan. Dengan berkuasanya kelompok Taliban di Afghanistan Osama bin Laden kembali ke negara itu dan disambut baik oleh Taliban. Di sanalah dia mendirikan jaringan Al-Qaeda. Yang menarik semua itu terjadi dengan sepengetahuan dan bantuan dinas intelijen Pakistan (ISI). Tak bisa dipungkiri bahwa pemerintah Pakistan punya andil besar pembentukan jaringan Al-Qaeda.

Peristiwa 11 September telah mengubah konstelasi politik dunia seperti yang diharapkan AS. Untuk memperluas dan memperkuat hegemoninya di dunia, AS menjadikan peristiwa teror itu sebagai alasan menyulut perang anti teror. Taliban dan Bin Laden yang semula bekerja untuk kepentingan AS mendadak berubah posisi menjadi ancaman bagi keamanan dan kepentingan AS. Afghanistan pun diserang lalu diduduki.

Selama perang ini, AS tidak berhasil mewujudkan apa yang diusung dan digembar-gemborkan sebelumnya yaitu menumpas terorisme. Sebaliknya, Afghanistan berubah menjadi kubangan lumpur air yang menenggelamkan pasukan AS dan tentara-tentara sekutunya. Akibatnya, pemerintahan George W Bush pun dikecam habis-habisan lantaran nasib para serdadunya di sana. Kini di masa pemerintahan Barack Obama, sang Presiden berusaha mengoptimalkan dan secepatnya menyelesaikan perang melawan teror dengan mengirim lebih banyak tentara ke Afghanistan. Namun kebijakan itu tetap tidak banyak membantu. Akibatnya, NATO mendesak AS untuk menyetujui penarikan mundur tentara dari Afghanistan pada tahun 2014.

Barack Obama sendiri bukan hanya menghadapi masalah perang di Afghanistan yang telah menewaskan banyak tentaranya dan menghabiskan dana negara, tapi juga menghadapi krisis ekonomi yang tak kunjung tertangani. Dampaknya adalah anjloknya popularitas Presiden yang sempat mengantongi hadiah nobel itu. Kecilnya tingkat popularitas Obama membuat banyak kalangan memperkirakan dia bakal masuk ke kelompok presiden AS yang hanya terpilih sekali untuk menempati Gedung Putih.

Kini rapor kegagalan Obama juga ditambah dengan tumbangnya sejumlah rezim dukungan Washington di tangan rakyat. Untuk bisa keluar dari himpitan ini sang Presiden memerlukan sebuah kejutan besar yang bisa memalingkan perhatian dunia. Tewasnya Osama bin Laden dianggap sebagai isu yang paling tepat. Dan terbukti, terbunuhnya Bin Laden dalam sebuah operasi militer seperti yang diklaim Barack Obama telah membuat rakyat AS bersuka cita. Hasilnya popularitas sang Presiden relatif terdongkrak naik.

Yang jelas, kematian Bin Laden tak bisa diartikan berakhirnya kebijakan ekspansionis AS yang dikemas dalam program perang anti teror. Dan, inilah yang dengan jelas dinyatakan berulang-ulang oleh Presiden dan sejumlah petinggi AS menyusul tersiarnya berita tersebut. Gedung Putih memang memerlukan publikasi berita seperti ini untuk mengakhiri tekanan akibat kegagalan misi militer di Afghanistan. Ke depan, AS pasti akan mengenalkan musuh-musuh yang baru dan alasan yang baru untuk melanjutkan kebijakan militerismenya di dunia. Sebab kebijakan inilah yang dijalankan AS sejak keruntuhan Uni Soviet, adidaya dunia di Blok Timur. AS memang memerlukan musuh bayangan untuk menjustifikasi kebijakan perangnya dengan mengesankan bahwa rakyat dan negara AS bahkan dunia terancam oleh musuh-musuh yang berbahaya.

Sumber: IRIB

0 comments: